Rabu, 13 Februari 2008

Bom Waktu dan Konser Maut

oleh Wenzz Rawk

Tragedi konser metal maut di Bandung sebenernya bisa terjadi di mana saja dan kapan saja di Indonesia ini. Setelah sebelumnya konser-konser band mainstream yang menelan korban (Sheila On 7, Padi, Ungu) dan kita sering mengejek karena ternyata yang menye-menye jauh lebih membunuh dibanding yang rock, akhirnya sekarang kejadian juga di musik yang kita senangi.
Sepertinya kita terlalu menganggap remeh dan lupa bahwa sebenarnya malaikat maut juga sudah mengintai konser-konser underground. Banyak bom waktu sudah ditanam di berbagai venue konser seperti ini di seluruh Indonesia. Memang sepertinya tinggal nunggu momentum dan venue yang tepat untuk diledakkan saja.
Sudah menjadi rahasia umum juga kalo sejak puluhan tahun yang lalu organizer konser-konser indie/underground yang melibatkan ratusan atau ribuan penonton rata-rata tidak menganggap serius atau menyiapkan hal-hal di bawah ini:
1. Tim medis, ruang medis atau mobil ambulance apabila terjadi insiden seperti ini.
2. Akses masuk-keluar venue dan pintu darurat buat penonton yang nggak diperhatikan serius atau diprioritaskan.
3. Kapasitas venue yang tidak diindahkan organizer.
4. Pembawa acara atau MC setelah konser berakhir tidak memberikan instruksi lewat pengeras suara bagi para penonton yang akan keluar dari venue
5. Tim keamanan (peace patrol) yang jumlahnya memadai, terlatih dan paham apa yang harus dilakukan jika terjadi keadaan darurat. Karena sebenarnya tidak perlu mengerahkan banyak polisi juga. Yang terpenting adalah tetap berkoordinasi dengan mereka.
Dan bom waktu itu akhirnya kemarin meledak juga di Bandung. Menelan korban jiwa 10 orang yang rata-rata kehabisan napas dan terinjak-injak. Kebanyakan masih remaja ABG pula. Sangat menyedihkan dan disesalkan pastinya. Tidak seharusnya juga ada orang mati sia-sia setelah nonton konser!
Sebagai penonton konser yang telah membayar tiket mereka tidak berhak mati, mereka malah berhak untuk bersenang-senang!
Kita semua langsung terkaget-kaget dan seperti nggak percaya kalau jenis musik death metal ternyata bisa berdampak secara harfiah seperti ini.
Pihak Enk Ink Enk sebagai organizer menurut gue sebenernya ketiban apes aja. Apes karena ternyata bom waktu itu meledak di konser yang mereka selenggarakan. Padahal selama sekitar 15 tahun ada konser-konser sejenis semuanya seperti berlangsung aman-aman saja.
Gue percaya nggak ada satu pihak pun yang mengharapkan tragedi ini terjadi, termasuk pihak Enk Ink Enk sendiri. Karena mereka pun menyelenggarakan konser ini bukan untuk mengeruk keuntungan besar-besar tapi lebih karena semangat untuk mendukung band-band lokal dan gerakan musik underground itu sendiri.
Berapa sih keuntungan yang di dapat dari penyelenggaraan konser underground dengan harga tiket Rp. 10.000 seperti ini? Hampir tidak ada! Bisa jadi mereka malah merugi terus. Belum lagi jarangnya sponsor komersial yang mau mendukung proyek konser idealis seperti ini.
Lalu kenapa konser-konser seperti ini berlanjut terus?
Karena kita senang dan ingin terus bersenang-senang dengan musik ini tentunya. Senang kalau band-band teman kita yang bagus menjadi maju, lebih dikenal dan memiliki fanbase besar. Senang kalau teman-teman kita yang menggemari musik seperti ini bisa terhibur dan having a good time. Senang kalau kebudayaan ini bisa menjadi alternatif bagi publik untuk terhindar dari keseragaman jenis musik yang bahkan bisa merendahkan martabat sebagai manusia.
Lalu apakah kemudian organizernya bisa kaya? Tidak juga pastinya. Kalau kata dedikasi dianggap terlalu muluk tapi memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya. Saya angkat topi setinggi-tingginya untuk organizer-organizer konser ini. Tanpa kerja mereka semua sudah pasti rock show punah dari negeri ini!
Buat orang awam, gue yakin bakal susah untuk dimengerti alasannya. Begitu juga buat orangtua, polisi, gubernur, walikota dan birokrat-birokrat uzur lainnya. Selain korupsi, mereka memang nggak akan pernah bisa mengerti apa yang anak-anak muda ini lakukan.
Polisi malah hanya bisa menuduh tanpa dasar kalau panitia konser ini membagi-bagikan alkohol kepada para penonton. Tuduhan yang sangat tolol dari aparat kepolisian kita tentunya. Dan setelah otopsi dilakukan ternyata tidak terbukti dan mereka pun kembali belagak bego. Sejak kapan organizer konser bertiket murah bisa menjadi sinterklas?
Tujuannya pasti hanya untuk mendiskreditkan fans musik rock yang selalu distereotipkan akrab dengan alkohol dan narkotika. Mereka lupa atau belagak bego kalau di konser-konser dangdut tak hanya alkohol dan narkotika saja yang beredar, namun juga golok, celurit dan berbagai senjata tajam lainnya :)
Karena publikasi tentang tragedi ini sudah sangat meluas ke dalam dan luar negeri, bahkan sudah jadi insiden internasional (Blabbermouth, BBC, AOL, Yahoo, MSNBC, Reuters) maka gue prediksi ini yang akan terjadi selanjutnya di scene musik lokal kita nantinya:
1. Konser-konser band rock/metal internasional di Indonesia akan kembali mengalami kemunduran. Pihak booking agency artis-artis ini akan sangat cerewet mempertanyakan profesionalisme promotor lokal atau malah sepihak membatalkan kontrak-kontrak show di Indonesia. Alasan gampangnya mereka nggak akan mau menjadi kambing hitam apabila insiden yang sama terulang!
Para orangtua akan segera melarang anak-anak mereka yang masih ABG untuk datang ke konser-konser musik terlepas apapun itu jenis musiknya. Mereka sudah melihat mimpi buruknya langsung via televisi!
Kepolisian akan melarang atau sangat memperketat keluarnya izin penyelenggaraan konser musik (khususnya rock/metal).
Pemerintah daerah akan mengeluarkan seribu satu macam alasan untuk melarang penggunaan venue publik bagi aktivitas anak muda yang berhubungan dengan musik rock.
2. Sponsor-sponsor komersial akan menarik dukungannya bagi penyelenggaraan konser musik rock karena takut terkena imbasnya apabila terjadi insiden serupa.
3. Banyak EO/promotor rock yang gulung tikar dan berubah menjadi promotor dugem karena lebih menguntungkan dan indah secara visual :)
4. Band-band rock indie/underground akan kesulitan mencari panggung.
5. Dan akhirnya scene musik rock lokal pun mati dengan sendirinya haha. tinggallah tersisa ajep ajep dan top forty tentunya

Tapi tenang saja....
Negara ini sudah sangat terkenal karena hangat-hangat tahi ayamnya. Ketika tanah makam para 10 korban ini belum mengering, dijamin semua pihak di atas juga akan cepat lupa dengan tragedi ini. Semua larangan akan dilanggar dan semua upaya antisipasi tidak akan dipedulikan lagi. Semua akan kembali berjalan normal seperti sedia kala nantinya.
Yah, minimal sampai bom waktu yang lebih besar lagi meledak dan rekor korban jiwa terpecahkan nantinya. Bukankah 10 korban tewas di konser Ungu di Pekalongan hanya berselang 1 tahun saja dengan tragedi Bandung ini?
10? 20? 30? 100? 200 orang mati di konser rock? Bukan tidak mungkin.

Ini Indonesia, bung!

Kalau ini Amerika Serikat maka ini hak para penonton konser di sana:
1. Hak untuk menikmati konser dalam lingkungan yang aman.
2. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari panitia, keamanan dan performers terlepas dari apapun yang berhubungan dengan SARA.
3. Hak untuk mendapatkan informasi tentang kewajiban-kewajiban bagi pemegang tiket dan menaati segala peraturan yang berlaku di venue.

Jika Anda sepakat ini bukan Indonesia maka seharusnya kita melakukan hal-hal dibawah ini di masa depan:
A. Event Organizer/Promoter
1. Menyediakan tim medis, ruang medis dan mobil ambulance.
2. Tidak menjual tiket melebihi kapasitas venue (80% terisi, 20% kosongkan).
3. Menginformasikan tata letak venue dan letak pintu darurat di tiket.
4. Menginformasikan peraturan selama konser berlangsung di tiket.
5. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
6. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
7. Menyediakan tim keamanan konser yang memadai, terlatih dan berpengalaman.
8. Memperhatikan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik bagi penonton.
9. Suka atau tidak suka, menjalin koordinasi dengan polisi atau aparat keamanan selama dan setelah konser berlangsung.
10. Apapun yang terjadi di luar venue jangan membuka pintu masuk jika venue sudah 80% terisi. Hormati pembeli tiket, jangan hormati para penonton jebolan!

B. Performers
1. Menginformasikan kepada penonton etiket di mosh-pit sebelum atau selama konser berlangsung.
2. Menginformasikan bahaya aksi stage-diving atau crowd surfing.
3. Segera memberhentikan konser jika terjadi keributan atau kerusuhan di mosh pit.
4. Menciptakan kondisi yang kondusif selama konser berlangsung.
5. Melalui website-website band lakukan edukasi bagi para fans yang akan datang ke konser Anda.

C. Audience
1. Membeli tiket.
2. Jangan lupa membawa identitas diri (KTP, KTM) jika pergi ke konser.
3. Jangan lupa makan dan minum secukupnya sebelum ke konser (apalagi jika konser di outdoor).
4. Taati peraturan yang berlaku selama konser berlangsung. Semuanya dibuat dengan alasan dan tujuan yang jelas: Demi konser yang aman dan nyaman.
5. Jika mengonsumsi alkohol sebelum ke konser pastikan takaran yang bijaksana :) Banyak silly things bisa terjadi jika kita mabuk di konser.
6. Paham bahaya dan konsekuensi jika terjadi kegagalan melakukan moshing, stage diving atau crowd surfing.
7. Segeralah menolong jika ada siapapun terjatuh di mosh pit.
8. Hindari penggunaan aksesoris yang dapat melukai orang di mosh-pit.
9. Kenakan earplug (jika ada).
10. Jangan ikut-ikutan berkomplot untuk menjebol pintu masuk. Tolol!
Untuk apa nongkrong di depan pintu masuk? Pastikan tujuan datang ke konser hanya untuk menikmati konser. Nongkronglah di kakus atau tempat nongkrong yang semestinya

www.koran-marjinal.blogspot.com

Selasa, 12 Februari 2008

Apa jadinya dunia tampa musik?

oleh erick ningrat

Musik mengilhami kita untuk melakukan suatu perubahan.perubahan yang membuat kita selalu bergerak sesuai warna kehidupan itu sendiri.kadang mengilhami kita untuk terus melangkah kedepan,kadang juga menjebak kita.Disini gw akan membahas tentang menjebak kita,gw sendiri sadar tiap musik mempengaruhi pendengarnya,musik dengan lyrics yang “menyayat” hati membuat kita menangis,dan tentunya jika kesedihan ini kita pelihara tidak akan memberikan kontribusi yang positif buat kita.karena kesedihan yang terus kita eksploitasi akan berdampak buruk terhadap perkembangna jiwa.Pada konteks kemungkinan akan terjadinya ke frustasian pada tiap pendengar akan semakin meningkat dari ketidak berdayaan dalam menghadi persoalan hidup sampai tidak adanya optimisme terhadap diri sendiri,ini menjadi boomerang bagi individu itu,jadi jenis musik apa yang memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan jiwa,menurut gw jenis musik yang mampu membuatkita menyadari akan pencerahan yang memacu optimisme pribadi.disi gw ga akan membatasi jenis musik apa yang memberi kesan negatif buat perkembangan jiwa.yang jelas faktor kematangan emosional tiap individu sangat berpengaruh dalam memfilterisasi jenis musik apa yang kita dengar mau reagge kek,mau pop,mau melow,mau punk ,mau black metal ,mau hip hop dangdut dugem jika diri kita dewasa dalam mengartikan jenis musik yang kita dengar maka semua itu adalah seni dan hiburan tidak lebih itu,dan itu kembali kepada masalah selera.
Jadi jenis musik yang kalian suka dan apa alasan kalian menyukainya?

Kamis, 31 Januari 2008

Strategi baru label rekaman “ membunuh “ Artis – artisnya.

Oleh Wendi Putranto

Teman-teman, kita sudah sampai di era baru industri musik.


Era dimana label rekaman melancarkan strategi terkejam dalam sejarah industri musik di tanahair: Menguasai artis dengan jalan mengelola karir mereka. Istilah populernya mereka melakukan ekspansi bisnis dengan cara membuka divisi Manajemen Artis di label rekaman.


Gue adalah salah seorang yang nggak setuju dengan berdirinya manajemen artis dalam sebuah label rekaman. Gue punya argumentasi yang kuat untuk ini. Label rekaman itu INKOMPETEN untuk urusan manajemen artis dan nantinya gue yakin malah bakal merusak tatanan industri musik yang selama ini otonom dari tiga belah pihak terkait (artis, manajemen, label).


Bisnis utama label rekaman adalah jualan kaset, CD, RBT, dsb. Semua yang berhubungan dengan rekaman musik. Dari nama saja sudah jelas: Perusahaan Rekaman! Akhirnya ketika mereka membuka divisi baru (Artis Manajemen) gampang ditebak kalo kerepotan dan berbagai kebodohan dalam urusan manajerial artis bakal terjadi di sana. Mulai dari SDM yang mereka miliki butut hingga praktek-praktek jualan band yang obscure. Karena mereka masih "belajar" maka jangan cari profesionalisme manajemen artis di dalam major label :)


Conflict of interest tingkat tinggi juga bakal terjadi di dalam band ketika manajernya bingung harus membela kepentingan yang mana nantinya (artis atau label?). Secara manajer lama kemungkinan besar bakal ”digaji” oleh label dan nanti hanya akan menjadi sub-ordinat dari manajemen baru.


Gara-gara pembajakan musik yang makin gokil (bahkan konon direstui negara) dan menurun drastisnya penjualan album fisikal, akhirnya mereka mengambil jalan pintas mendirikan manajemen artis yang ujungnya lagi-lagi merugikan artis nantinya. Label bukannya bersatu memerangi pembajakan namun malah berkomplot untuk mengeksploitasi artis habis-habisan agar mereka bisa terhindar dari kebangkrutan.


Biarkan artis yang bangkrut, tapi jangan labelnya! Kira-kira kasarnya begitu. Sekali lagi artis adalah obyek penderita nomor satu nantinya.


Setelah kecilnya nilai royalti mekanikal di Indonesia, statistik penjualan album yang manipulatif, dilarangnya artis bergabung dengan KCI oleh ASIRI (atau diminta keluar dari KCI jika telah bergabung) maka penindasan terhadap artis akan datang lebih kejam lagi nantinya. Detailnya kira-kira seperti di bawah ini.


Ini prediksi yang bakal terjadi di masa depan dengan ”artis-artis baru” yang kontrak dengan major label yang memiliki divisi manajemen artis:


- Masa depan karir band baru akan tergantung dari label rekaman, bukan berada di tangan manajemen lama atau artisnya sendiri.


- Tumpulnya peran dan kontrol manajemen artis yang lama dalam membela kepentingan-kepentingan artis. Manajemen lama akan menjadi sub-ordinat dari label dan kemudian hanya berfungsi sebagai baby-sitting artis. Semua fungsi kontrol dan decision making artis akan terpusat kepada label sebagai investor. Manajer lama tidak punya hak karena mereka tidak invest apapun. Kemungkinan besar mereka akan disingkirkan dengan jalan "pembusukan". Mempengaruhi artis dengan iming-iming kesuksesan di industri musik.


- Kontrol yang sangat ketat dalam proses kreatif dan menciptakan musik berakibat hilangnya idealisme artistik & estetis karena artis hanya akan diperbolehkan menciptakan musik-musik yang tengah disukai oleh pasar yang tidak cerdas. Sejuta band mirip Kangen Band diprediksi akan membajir di industri musik kita :)


- Berkurang secara signifikannya pemasukan bagi artis karena mereka harus share profit selain dari royalti mechanical, live show, merchandise, touring, advertising, publishing dan sebagainya. Hal yang belum pernah terjadi sebelumya. It's a very big, big, big LOSS, ladies & gentleman!


- Buruknya lagi, kalau artis baru nanti terlalu blo'on, maka tingkat eksploitasi akan diperkejam lagi hingga nama band dipatenkan oleh label, internal band akan dikontrol langsung pihak label, penggelapan royalty, sales report yang culas hingga berlakunya sistem bodoh dengan label menggaji para artis. Jika selama ini kita memandang artis sebagai seniman dengan talenta yang tidak ternilai maka selanjutnya kita akan dipaksa memposisikan artis tak lebih dari "kuli musikal."


Strategi ”mega-eksploitatif” ini memang hanya diberlakukan bagi band-band baru yang ditawarkan kontrak rekaman oleh major record company. Contoh paling konkret misalnya terjadi pada Nidji, Letto (Musica), The Changcuters, St. Loco, Vagetoz (SonyBMG Indonesia), Kangen Band (Warner), Tahta (EMI), dsb. Semuanya memang memiliki deal-deal yang berbeda satu sama lain. Maksudnya tingkat eksploitasinya berbeda-beda. Ada yang parah dan ada yang parah banget. Gue sempat mendengar ada satu band yang dipotong komisinya sebesar 45% (gross) setelah join dengan manajemen artis major label.


Band baru yang hadir dengan strategi yang brilyan dan sangat berhasil di awal karirnya adalah Samsons yang melakukan master licensing deal dengan Universal Music Indonesia. Mereka membiayai sendiri produksi rekaman dan kemudian menjalin kerjasama promosi & distribusi dengan major label selanjutnya. Ke depannya deal seperti ini nantinya akan menjadi ”favorit” para manajer artis (tentu bila mampu).


Pastinya, label rekaman tidak akan menawarkan strategi keji ini kepada band-band lawas/senior karena bargaining position mereka sudah sangat kuat. Selain brand mereka sudah dikenal luas, pengalaman dan pengetahuan bisnis musik yang sangat memadai, fanbase yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap positioning mereka di industri musik. Label sendiri kadangkala melihat artis-artis lawas sebagai ”uzur,” ”grace period” atau sudah rendah ”selling point”nya.


Itulah kenapa akhirnya label rekaman besar hanya akan memburu band-band/artis baru yang masih hijau, yang minim pengetahuan bisnis musiknya dan belum paham peta/konstalasi industri musik lokal. Selain bakal gampang dibodohi dengan kontrak yang sangat eksploitatif mereka juga akan dipengaruhi iming-iming "fame & fortune" di industri musik. Padahal belum tentu bakal "booming" juga :)


Jika Anda saat ini berada di sebuah band baru dan ditawarkan kontrak rekaman dari major label maka jangan terburu-buru tergiur dulu! Imej bergengsi major label tidak akan banyak memberi keuntungan. Yang terpenting adalah deal-nya, bukan masalah major atau indie label-nya. Pelajari dulu dengan seksama kontraknya, undang pengacara kenalan Anda untuk membedahnya, konsultasi dengan band-band lain yang sudah berpengalaman.


Sudah banyak kasus terjadi sebelumnya. Band-band baru menandatangani kontrak rekaman jangka panjang dengan major label dan akhirnya menyesal. Ketika bandnya booming dan banyak menerima job manggung beberapa ada yang melakukan ”resistensi” konyol dengan tidak menyetorkan komisi kepada label sesuai perjanjian. Menjadi konyol karena setelah kontrak rekaman itu ditandatangani maka konsekuensi-konsekuensi di belakangnya seharusnya sudah kita tahu sejak awal. Oleh karena itu jangan ikut mengantri di barisan kebodohan. Empowered yourself!


Cara kerja label juga akan lebih mirip jarum suntik nantinya. Sekali pakai langsung buang, disposable. Artis-artis baru tidak akan ada yang didevelop untuk panjang umur karirnya, mereka hanya akan disupport demi "popularitas maksimal dua atau tiga album saja!" Setelah booming besar dan untung besar, siap-siap menuju ladang pembantaian. Setelah dibantai maka dicari lagi talenta baru. Kalau kita jeli fenomena seperti ini sebenarnya telah terjadi sekarang ini di Indonesia.


Label besar sejatinya nanti hanya akan menjadi pusat manufaktur band! :) Kita tidak akan menemukan lagi band-band awet populer seperti Slank, Gigi, Netral, Dewa19, Naif di masa depan nantinya. Semuanya hanya akan "easy come, easy go!"


Tapi kalo ada yang bilang label membuka manajemen artis bakal membunuh pula profesi manajer artis individual/otonom, gue sama sekali nggak setuju. Gue justru nggak melihat kalau manajer-manajer artis yang independen itu bakal tergusur atau kehilangan pekerjaan. Ini analisa yang terlalu sembrono. It's not the end of the world as we know it :) Negara ini punya lebih dari 200 juta penduduk. Yang pengen jadi artis, bikin band dan gilpop (gila popularitas) setiap harinya pasti bertambah ribuan. Justru segudang talenta ini menjadi market yang sangat potensial bagi manajer-manajer artis untuk dikelola.


Manajemen artis yang individual atau berbentuk firma masih akan sangat dibutuhkan dan berperan penting di sini nantinya. Perkembangan teknologi yang gokil belakangan masih menjanjikan masa depan yang cerah buat band-band yang tidak dikontrak major label lokal/internasional a.k.a indie. Hadirnya MySpace, YouTube, Multiply, Friendster, Ning dan perangkat musik digital lainnya sangat memungkinkan untuk mencetak artis besar via jalur alternatif. The Upstairs sendiri udah membuktikan hal ini sebelumnya.


Apalagi tren terbaru di Amrik dan Inggris sekarang rata-rata artis bernama besar malas memperpanjang kontrak rekaman mereka dan memilih hengkang dari major label. Prince, Madonna, Radiohead, NIN adalah para pelopor ”gerakan kembali ke indie” ini. Mereka justru mempercayakan manajemen artis mereka yang independen untuk berfungsi pula sebagai "label rekaman". Cepat atau lambat gue pikir band-band besar di Indonesia akan mengambil langkah yang sama nantinya. Slank, Naif dan Netral malah sudah membuktikannya..... dan mereka cukup berhasil! Salute!


Masih adakah jalan lain? Ada banget! Di dalam negeri sendiri sudah ada yang mempelopori ”penggratisan musik.” Album rekaman kini telah berubah fungsi menjadi sebuah ”marketing tool” untuk menjaring job manggung. Mungkin inilah masa dimana musisi tidak lagi memikirkan royalti rekaman! Bisa jadi kalau teknologi kloning nanti sudah semakin sempurna maka ini berarti ancaman besar! :)


Koil menjadi pionir dengan menjalin kerjasama dengan majalah musik untuk mendistribusikan album terbarunya (Blacklight Shines On) secara gratis. Selain itu mereka juga memberi akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.


Memang perlu dipelajari lebih lanjut lagi apakah strategi ”penggratisan musik” ini nantinya bakal merugikan atau malah menguntungkan. Yang pasti band-band baru tidak akan memiliki ”keistimewaan” seperti Koil jika mau mengambil strategi serupa.



Yang menarik lagi, sempat ada pertanyaan di bawah ini yang datang ke saya ketika jadi pembicara di sebuah seminar musik di kampus UI beberapa waktu lalu:


Bagaimana dengan marak terjadinya kasus manager-manager artis individual/otonom yang tidak profesional atau bermasalah? Katakan saja menipu artisnya, melakukan penggelapan keuangan, dsb.


Nah, untuk point di atas sebenernya gue jamin nggak akan terjadi lagi kalau di dalam manajemen artis kita sudah DITERTIBKAN secara organisasi dan administrasinya. Mari kita lihat apakah kita sudah memiliki kontrak tertulis antara manajemen dengan artis yang mengatur kerjasama profesional ini? Apakah peran, hak & kewajiban masing-masing pihak sudah di jabarkan secara rinci? Pemisahan fungsi manajemen sudah diberlakukan? Apakah antar personel band kita sudah memiliki kontrak internal pula? Kalo semua konsolidasi internal ini beres gue jamin masalah-masalah di atas nggak bakal terulang lagi di masa depan.


Oke, sementara begitu aja pandangan gue tentang isyu ini. Memang tulisan ini nggak akan mengubah strategi major label untuk tidak membuka divisi manajemen artis di dalam perusahaan mereka, toh semuanya jadi keputusan bisnis mereka juga. It’s their damn business afterall :) Lagipula masih ada juga major label yang tidak memberlakukan strategi dagang ini (paling tidak sementara ini), misalnya seperti Aquarius Musikindo, Universal Music Indonesia.


Yah, minimal kita bisa mencegah regenerasi kebodohan dan berlanjutnya proses pembodohan seperti ini sekarang juga.


Gue sangat berterimakasih kalo ada teman-teman yang mau memforward atau menyebarluaskan tulisan ini agar dibaca lebih banyak artis-artis baru yang berniat mempertaruhkan masa depan dan karir mereka sebagai musisi. Jangan biarkan mereka dirampok!


Hope we could make real changes together.


For better, not worst....



Vive le rawk!